Sepertinya, aku tahu.
Aku selalu ingin kau lihat dan cintai. Tapi selalu tidak pernah sampai di sana.
---
"Besok kita bisa ketemu lagi?"
"Sekarang aja kalau perlu ngomong. Besok akan lebih susah."
"Hm, belum tahu bisa apa tidak kalau harus bicara sekarang."
"Your problem. Aku duluan."
---
Kesalahan seperti apa yang bisa membuat kita marah sehingga melupakan kebaikan-kebaikan sebelum kesalahan itu datang? Itu emosi sesaat atau memang sudah tersusun rapi seperti balok siap diusik kemudian jatuh sampai usai di ujung. Tiada yang lebih tahu kecuali kita sendiri. Tapi aku tak pernah tahu, sayangnya.
Karena yang sepertinya aku tahu, aku tidak pernah peduli itu. Karena aku memang hanya selalu melihatmu. Tidak peduli kamu anggap aku ada atau tidak.
Ramadan tiba dengan selalu sederhana tapi penuh makna. Sibuk kejar-kejaran dengan waktu untuk jadwal tayang ragam materi. Kemarin itu bonus-bonus tahunan turun, tapi sudah pergi ke mana. Semua masuk pos-pos pengurangan dengan seksama dan rapat sekali barisannya.
Di rumah-rumah makanan mulai dipreparasi dengan sedemikian rupa, mempermudah hidup di waktu sahur katanya. Bilang saja, mata masih butuh pejam tapi jam tidur semakin menipis batasnya. Mana ada daya lebih untuk memilih "mau makan apa yaa?".
Sudah malam ke tiga tapi belum bisa ikut euforia. Malah jadi makin banyak berpikir, kalau aku mati tiba-tiba, anakku nanti dengan siapa ya?
Meniadakan dan menganggap tiada adalah hal berbeda tapi tetap saja menyakitkan. Tidak lantas sembuh dengan sendirinya. Perlu waktu dan penerimaan. Baik dari sisi warasku dan sisi egoku.
Aku tidak lantas harus selalu dewasa menghadapimu, kadang ada kalanya aku seperti bunga kecil tak terlihat dan terinjak. Kamu lupa, aku juga bisa rapuh dan butuh perlindungan.
Besok-besok, beban itu boleh dibagi tapi kumohon berjalanlah dengan tegak tanpa harus menginjak dan lantas meninggalkanku di belakang. Kamu tidak boleh meniadakan eksistensiku yang ada bersamamu sejak lama.
Bukankah kamu merasakan resah kalau aku tidak ada? Oh, atau bisa jadi kau memang tidak peduli. Lantas untuk apa aku harus?