Ini semua berantakan. But somehow this human chaos is neccesary in between my freakin-daily-routine life. -Astri Primasari, Clara
Tepat sekali menggambarkan perjalan kali ini. Berantakan dalam artian sesungguhnya. Mulai dari ketinggalan kereta pas berangkat, sampai ketinggalan teman pas perjalan pulang ke Jakarta lagi. Perjalanan kami di masa penghabisan tahun 2013 menuju 2014 yang entah akan seperti apa.
26 Desember 2013
Tiket kereta dipegang sama yg punya hajat. Saya hanya perlu bayar dan patuhi apa yg jadi kesepakatan bersama. Pukul 8 pagi berkumpul di St. Bogor yang ternyata semakin menarik dan menyenangkan dilihat mata. Saya bertemu dengan Ari, Rivaldy, Ardi, Adi, dan pacarnya Ardi. Lengkap dengan bawaan ransel dan baju hangat. Menunggu kereta jurusan Tanah Abang, kami habiskan dengan perbincangan kecil dan beberapa kali ambir gambar. Kereta berangkat pukul 9 lebih, berhenti di St. Bojong. Dina dan Icha bergabung bersama dengan kami, mereka dua orang teman yg akan melakukan perjalanan ini juga. Sedangkan dua orang lagi, Yuda dan Brian sudah menunggu di St. Senen dengan anteng. Apalagi yg harus kami lakukan selain bicara sana sini, rekam suasana, menikmati perjalanan dengan cara masing-masing. Saya pilih untuk sesekali ambil andil mengambil gambar mereka. Termasuk juga penumpang lain yang hari itu ikut semakin memadatkan gerbong yg kami tumpangi. Jangan tanya gerbong berapa, saya sudah lupa. Banyak hal detail yang kemudian saya lupakan begitu saja dan saya sedikit menyesali itu sekarang.
Sampai di St. Senen masih jauh dari pukul 1 siang. Kami akhirnya berkumpul dengan anggota lengkap. Sembilan anak penasaran yang menyisihkan waktu demi satu kata yang namanya kedamaian. Dengan pacarnya Ardi, maka jumlah kami sebelum berpisah adalah genap sepuluh orang. Tapi kemudian dia pulang dan tinggalah kami yg bersembilan ini.
Mencari tempat duduk untuk bersantai sejenak sampai keberangkatan. Kamu ingin tahu perasaan saya? Saya seperti merasakan kebebasan tak berbatas saat itu. Saya seperti bisa melakukan apa saja. Kembali pada cerita sebelum berangkat. Saya masih belum lihat wujud tiket berangkat dan pulang nanti. Hingga akhirnya kejadian menyesakkan itu terjadi.
Kami yg seperti pasukan perang ini, sudah lolos dari antrian panjang dan panas di depan pintu masuk. Saya, Icha, dan Dina bahkan sudah langsung berjalan menuruni tangga stasiun lorong 4 dan sampai di depan kereta Bengawan Solo yang akan jadi kendaraan sampai St. Lempuyangan - Jogja nanti. Tapi sampai kereta sudah mau berangkat, rombongan kami belum kumpul juga dan masuk kereta. Kemudian muncul sosok salah satu teman laki-laki saya mengatakan bahwa salah satu teman kami tidak bisa masuk, mau tahu alasannya? Tiket milik dia ditolak. Alhasil harus diurus dulu dan ujung-ujungnya, kereta kami berlalu begitu saja. Habis akal seketika. Mau apa lagi, tiket kami hangus sudah. Waktu kami terbuang sudah.
Saya jadi enggan untuk berbuat apapun, marah percuma, kecewa tentu saja, dan anehnya dalam kondisi seperti ini saya masih bisa makan dengan lahapnya (kemudian) dan tertawa untuk menertawakan kebodohan kami semua, khususnya saya sendiri. Harusnya dari awal saya cek ulang untuk masalah tiket ini sebelum benar-benar berangkat. Okay, this is my journey. Apapun yg terjadi akan jadi corak tersendiri nantinya.
Setelah mempertimbangkan matang-matang, kami akhirnya naik Bengawan Solo tambahan sore harinya, pukul 5 sore.
Hari itu adalah hari terpanjang yg harus dilewati dengan perasaan campur aduk antara takut, lelah, cemas, penasaran, dan segala emosi yang entah apa namanya. Keril kami sudah memenuhi tempat penyimpanan tas di atas kepala. Posisi kami di kereta malam itu, bergantian untuk berdiri, sebentar duduk sebentar menyingkir dari tempat duduk yang sisa dan sekiranya kosong, sampai bolak balik wc atau kantin umum. Tapi agaknya nasib baik masih ada untuk kami, secara tidak sengaja Dina berkenalan dengan salah satu tim checker kereta, namanya Pak Yanto. Thanks to Dina, gara-gara dia kita bisa gantian duduk di gerbong khusus petugas. (hahaha, apa sajalah yg kami jadikan topik pembicaraan asal kami bisa duduk dengan tenang tanpa harus berdiri di sambungan gerbong)
Bicara tentang Pak Yanto, beliau asli Solo. Kalau sedang bertugas di kereta, ternyata beliau dan teman seprofesinya bisa bolak-balik Jakarta-Solo sampai 16 kali. Kebayang ga gimana pegelnya itu pinggang sama tulang punggung? Saya aja, baru sekali jalan udah berasa pegalnya. Dari situ saya ngerti, saya kembali diingatkan untuk tetap dan selalu bersyukur dengan apa yang saya terima selama ini. Untuk mereka, perjalanan seperti ini adalah sebagai proses pencarian nafkah. Sedang saya dan teman-teman semata-mata untuk melepas penat yg Ibu Kota berikan. Saya katakan saya lelah, tapi secara fisik, bisa jadi Pak Yanto dan temannya jauh lebih lelah dari saya.
Oh ya, satu lagi. Pelajaran yg perlu saya share adalah bahwa benar adanya kebaikan itu akan ada di mana saja selama kita bisa jadikan diri kita baik juga. Meskipun tidak dengan efek langsung, tapi yakinlah bahwa yg namanya kebaikan yang kita keluarkan akan kembali juga pada kita. Semoga Pak Yanto dan teman-teman PJKA diberikan kebaikan yg banyak oleh Allah karena sudah baik terhadap saya dan rombongan.
Selain kebaikan di atas kereta itu, beliau juga dengan tulusnya bersedia menampung kita kalau kita ada jadwal ke Solo dan jika memang dia sedang tidak bertugas di atas kereta. (baiknyaaaaa, saya dan Dina sih cengengesan kesenengan)
Beberapa potongan gambar yg bisa saya simpan untuk mengingatkan pada sesuatu yg mungkin saja saya lupakan kelak.
to be continued.....