Bandung, menjelang malam tahun baru 2012 (mungkin kau bisa bantu)
Pulang kerja yg harusnya naik bis jurusan Bogor, saya malah naik jurusan Bandung. Asli ga pikir panjang. Lalu akibatnya terdamparlah kami di antah berantah, tempat yg sunyi, minim lampu, dan ga ada tempat buat selonjorin kaki. Meski pas turun sempet duduk lagi sesaat di depan Alfamart dan melihat ada rombongan pendaki yg siap dengan barang bawaan mereka. Langit dini hari itu juga bagus. Saya masih ingat. Yg saya ga ingat, perasaan apa yang saya rasakan waktu itu. Iya, bersamamu. Tenggelam dalam sunyinya Bandung dini hari. Terminal Leuwi Panjang. Ternyata saya mengingat masa itu dengan baik setiap saya ke Bandung.
Gambar diambil ketika saya kembali ke tempat ini di kemudian hari dan semua kejadian yg lalu terputar kembali seperti film lama. |
Garut, pendakian pertama yg menyebabkan kerinduan berkelanjutan. 13-15 September 2013
Papandayan, tempat memulai kembali petualangan yang lama terhenti oleh perubahan waktu. Kalau dulu waktu SD adalah suatu kesenangan untuk menjelajah alam terbuka, maka kini itu seperti candu yang sulit sirna dilekang waktu. Tanpa tahu harus turun di mana dan akan sepeti apa, benar-benar pasrah ikut apa kata rombongan justru mempertemukan kita di kala itu. Teman baru, cerita baru, dan semangat baru.
Rindu selalu untuk tertawa di bawah matahari dan dalam dekap dingin malam |
Jogja-Tulung Agung via kereta, lagi-lagi menjelang malam tahun baru, tapi 2014.
Akibat keseriusan emosi pada rupa manusia, saya dengan nekatnya putuskan untuk memisahkan diri dan berjanji akan bertemu lagi kota yg sama sebelum kembali ke Bogor. Tiket pulang pergi sudah di tangan. Pertama kalinya menginjakkan kaki di Malioboro sendiri, urus tiket on the spot di Tugu, dan menanti berjam-jam di ruang tunggu stasiun. Seperti turis lokal sok tegar tapi galau maksimal. Alhamdulillah selamat sampai tanah kelahiran, sebuh rumah nyaman dengan senyum hangat di setiap penghuninya untuk saya. Saya selalu merasa jadi Putri di tempat ini.
Kesepian di kala ramai sekitar adalah biasa. Yg ajaib adalah riuh rendah suara dalam kepala tidak pernah berhenti di tempat sesepi apapun. |
Gunung Padang, Cianjur. Agaknya Januari 2014 (bener ga?)
Nekat juga. Kedua kalinya naik motor jarak jauh. Bedanya kali ini plus hujan dan teman perjalanan yg selalu buat tersenyum jika diingat. Berharap ada keajaiban bahwa mentari akan bersinar, tapi tidak. Hujan tetap anggun turun, begitupun kami. Kami melaju gagah berani membelah angin dan merasakan air menyentuh mata, hidung, dan bibir. Nekat maksimal ditutup dengan Dorori. Ah, itu cara biasa tapi manis :)
menembus hujan yg bukan lagi rinai melaju bersama angin membelah udara dan membiarkan kesenangan meresap di antara celah-celah hati |
Jepang. (Oktober-Nov 2014)
Paling ekstrim di antara semua kenekatan. Modal 'iya' untuk ajakan dari teman sejawat di kantor. Mulai urus paspor lalu visa lalu cicilan tiket dan penginapan serta bis antarkota. Bahkan sampai rela ikut ujian susulan. Ditelpon dosen pas jadwal ujian karena ditungu-tunggu tapi malah ada di negara matahari terbit. Tapi nekat yg satu ini membawa mata melihat lebih luas dan membuat kaki melangkah lebih jauh. Impian saya juga dibawa menggantung ke tempat yg lebih tinggi.
Put your dream higher, higher, higher...and get it! |
Entah kenekatan apa yang saya lakukan di kemudian hari.
-R
Kau keluhkan awan hitam yang menggulung tiada surutnya...
Banda Neira dengan Kau Keluhkan-nya sebagai soundtrack ini situasi. Berhenti di lapangan dekat rumah. Mereka main bola, aku pilih posisiku di sini. Mengamati langit sore lepas hujan. Menanyaimu tentang hidupmu yg lama ingin kutahu bagaimana kelanjutannya. Lalu sampai pertanyaan berikutnya, kau diam saja.
Ada satu lagi setelah ini yg ingin kutanyakan.
Kita (masih) berteman, kan?
Banda Neira dengan Kau Keluhkan-nya sebagai soundtrack ini situasi. Berhenti di lapangan dekat rumah. Mereka main bola, aku pilih posisiku di sini. Mengamati langit sore lepas hujan. Menanyaimu tentang hidupmu yg lama ingin kutahu bagaimana kelanjutannya. Lalu sampai pertanyaan berikutnya, kau diam saja.
Ada satu lagi setelah ini yg ingin kutanyakan.
Kita (masih) berteman, kan?