Putu Diarthi.
Someone yang special rasa gulali manis, gak ada campuran asam, atau pahit. Per 12 Juni lalu dia kembali ke Tanah Dewata, for goooood. Setelah sekian tahun suka duka di Kota Hujan, sibuk berpijak dari batu satu ke batu lain untuk terus melangkah melanjutkan cita-cita. Jadi demi dia dan demi pertemuan kita yang semoga tak sia-sia (ada manfaatnya maksudnya), berhasil sudah kami semua ketemuan.
Meski gagal bohong, katanya aktingnya ketahuan banget, padahal itu karena Putunya udah ke-GR-an aja. Huehehe. Tapi pada akhirnya kita semua happy :)
Happy sekali.
Kejutan untuk Aris dengan datangnya Arnel juga berhasil. Ngebuat Hikmat jauh-jauh naik motor dari antah berantah, Lulu sampai dianter suami, Qori yang langsung dari pasar dan cuma di-drop suami dan Guruh yg notabene sekarang sudah jadi suami Rifa datang. Itu juga super.
Kalian,
makasih ya :)
Akhirnya kita bisa ketemu lengkap, sharing bareng lagi, dan yang gak ketinggalan adalah foto bareng toga masing-masing!
Nb:
Gist, Gal, bae-bae ya kalian sama aku. Mbot udah jauh. Kita 'hengot' jadi lebih intimate nih.
semoga kita bisa terus akur sampai nanti, mungkin 10 tahun mendatang kalian sudah bawa anak masing-masing dan menemukan pasangan yg pas juga untuk yg masih single ;)
*ngomong sama diri sendiri juga
Love,
R
Selamat hari jadi, Bogor!
Tujuan aku selalu pulang setelah lelah melanglang buana
Tujuan aku selalu pulang setelah jalan lelah dijelajah
Karena padamu, rumah dan orang tua masih ada
Karena padamu, sebagian besar cerita usia bertingkah polah
Semoga kamu tetap baik dan mendamaikan orang-orang yang ada di tanahmu.
Jakarta, 03 Juni 2016.
Tujuan aku selalu pulang setelah lelah melanglang buana
Tujuan aku selalu pulang setelah jalan lelah dijelajah
Karena padamu, rumah dan orang tua masih ada
Karena padamu, sebagian besar cerita usia bertingkah polah
Semoga kamu tetap baik dan mendamaikan orang-orang yang ada di tanahmu.
Jakarta, 03 Juni 2016.
The god of underworld, Batara Kala, slowly swallows the sun and the moon. He is known as the god of time and destruction, and he makes the sun and moon disappear, bringing darkness to daytime.
Itulah sekelumit legenda yang umum ada di Indonesia untuk menceritakan bagaimana terjadinya gerhana matahari.
I took fewer shots during the full eclipse because I wanted to enjoy the moment rather than concentrate on capturing it.
Karena Jakarta bukanlah titik sempurna untuk mengamati gerhana total, maka tidaklah ada foto-foto cincin permata itu di dalam memori kamera. Karena juga tidak ada sepeda pribadi untuk dikemudikan, maka tidaklah ada masa mengayuh sepeda dari mess sampai Planetarium Jakarta. Karena setelah itu semua akan langsung pulang ke rumah, maka banyaklah gembolan di belakang punggung.
Mungkin masyarakat termakan oleh keramaian tajuk ‘350 tahun sekali’ karenanya tempat ini terasa sesak penuh manusia. Memang tidak semua tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi yang disayangkan adalah ketidaktahuan sama sekali tentang ‘jangan pandang mataharinya langsung’. Kalau nanti terjadi apa-apa barulah dia kecewa.
Sesak memadati area, sibuk mengambil kacamata untuk sekeluarga lalu tetap berbondong-bondong antri ke dalam kubah raksasa. Wahai para orang tua dan mudi-muda, pahamilah kalau sudah berkacamata untuk apa pula kau paksa sesak di dalam ruang. Selain menghabiskan jatah gratis kacamata, kalian juga sudah merampas kesempatan yang tidak berkacamata untuk masuk ke dalam.
Gerutu-gerutu kesal, kecil, lirih, terdengar silih berganti di kuping kanan kiri. Saya dan teman-teman yang kadung tidak dapat dua-duanya-kacamata dan masuk ke ruang pengamatan-akhirnya jalan-jalan saja. Duduk di Sevel, makan pagi, dan bersiap untuk Sholat Gerhana. Lalu berfoto bersama sekedar untuk menyenangkan diri sendiri.
Tapi ternyata ego seorang Ria tidak bisa dikalahkan, masa sudah sampai sini tidak bisa juga lihat gerhananya? Maka transaksi pinjam meminjam kacamata akhirnya terjadi. Dan taraaa....
Meski tidak sempurna, tapi kami semua berhasil untuk sekedar lihat-lihat prosesi pembentukan cincin berlian. Prosesinya saja. Karena apa mau di kata, ini di Jakarta.
Keadaan waktu itu kelam, tidak gelap pekat. Tapi membuat hari menjadi tidak ada semangat. Tidak ada terobos cahaya dari sela daun dan dahan yang biasa saya lihat di sekitaran Menteng. Mungkin ini kenapa jaman dulu kata mama ketika beliau kecil, ketika gerhana orang akan lebih memilih berkumpul bersama keluarga, menunaikan ibadah bersama, memperbanyak istighfar kepada Allah, karena setelah kelam redup bisa saja cahaya tak pernah kembali,.
Kan bisa saja..