Sebuah tas gendong, sepatu lari, celana jeans hitam, kaos tipis dan kaca mata minus yg setia bertengger di batang hidung. Kita menunggu kereta yg masih belum datang. Malam ini kita akan menghabiskan sisa lelah bekerja dibawa kereta melintas Pulau Jawa.
"Mau kubeliin minum?"
"Aku bawa dan masih ada kok. Makasih."
"Ok. Bawa buku? Aku pinjem dong."
"Ada, di selipan biasa. Ambil aja. Tapi kayanya bukan genre kamu."
"Ga masalah. Just for killing time."
"Lha, terus aku ngapain?"
"Gambar gih, nulis kek, lanjut ngapal kek, atau.."
"Apa?"
"Liatin aku."
---
Tak perlu kau titah, aku sedari tadi melakukannya sudah. Ah, kau ini. Membuatku jatuh dengan mudah.
apakah aku pernah memberi tahumu, bahwa aku sebenarnya tidak begitu suka ketahuan ketika aku sedang menulis sebuah cerita atau membuat karangan tentang apa yang aku rasa? tapi aku senang, sungguh, aku sungguh senang ketika apa yang aku tulis kau baca dan kau percaya akannya. aku tersanjung.
dari sana mimpiku bermula, kepercayaanmu padaku tentang semua yang aku rasa dan tuliskan. kau akan membaca semuanya. kau akan berkata ini begini, itu begitu, tanpa ragu. tapi kau menyelipkan senyuman untuk setiap karyaku. kau adalah penggemarku yang nomor satu. kau tahu? aku rasa aku tak butuh penggemar lainnya di hidupku. kamu saja, kurasa itu cukup. lebih dari cukup.
-----
"ini naskah aku."
"yg terbaru?"
"bukan yang terbaru. yg selesai."
"masih yang itu? serius?"
"hm."
"..."
"aku pamit ya sekalian. makasih kalau kamu masih mau baca. kalau ga pun, kamu bisa tinggalin tulisan itu di tempat sampah. dah.."
"..."
bel kecil berdenting di pintu. aku keluar. dari kedai itu, dari hidupnya. itu keputusanku. bulat sudah. tidak ada kata berpisah. tidak ada colongan keluh kesah. tapi langkah kaki seiring cepat dengan air mata yang membuat wajah terlanjur basah.
aku selama ini berharap lebih tentangmu. tapi apa mau dikata, kesempatan dan waktu bukan milik kita.
Simpang jalan berbeda, kapal mengambang tenang di lautan. Berdiri di buritan dengan perasaan tak berdeskripsi. Angin datang dan pergi, membawa dingin dan menyajikan sensasi menggelitik sensori di sekujur tubuh yang memeluk diri sendiri. Menyesali kenapa begitu dan begini sekali apa-apa yang sudah dijalani.
Celah sempit ternyata memberikan kesempatan pada kenangan untuk menyelinap keluar.
---
Raina masih terbaring di tempat yang sama. Seratus tiga puluh sembilan hari. Tidak ada tanda-tanda perubahan sejak malam kejadian mengerikan itu. Aku berharap dia segera bangun dan kembali padaku. Aku rindu senyumnya.
Aku berusaha mengeluarkan suara, melafalkan sebuah nama. Raga. Dimana dia? Suster menggeleng. Memintaku untuk tetap tenang dan kembali berbaring. Segera memeriksa nadi di pergelangan tangan. Melihat kabel infus yang masuk. Memeriksa bola mata. Kemudian bertanya padaku beberapa pertanyan singkat. Aku merasa baik-baik saja. Tapi kenapa rasanya aku banyak lupa.
Dimanakah aku kini? Sedang apakah aku kini?
Aku sedang bertualang. Melintasi rel kereta yang panjang. Jarak 166 km menuju timur dari Jakarta.
Ingin sekali aku bilang. Tentang beberapa siang dan petang. Semuanya. Tapi kamu tidak pernah bertanya.
Jadi, semalam aku hanya sampaikan senyum terbaik yg aku punya sebelum mimpi menjemput. Lalu pagi tadi, sekalimat semangat untukmu menjalani hari.
Kontradiksi.
ps:
semoga di lelahmu, selalu terselip ketulusan
semoga di sibukmu, nada kita bukan pengganggu ketenangan
Saya bersiap, sudah di sini..
Mari.
Semoga hujan membawa kebahagiaan bagi yang merindu, bagi yang ingin mengenang apa rasa dingin di kala pagi hingga siang.
Kata Bapak,
Kita memang orang sederhana, tidak kaya raya dan tidak bisa semau kita kalau mau apa saja. Tapi kita punya harga diri sebagai manusia.
Ga bisa, Pak. Bahkan aku merasa harga diriku sudah jauh kutinggal di sela gang dan di atas kasur busa. Kutanggalkan satu-satu. Kunikmati pilu. Tapi lambat laun Bapak tahu, ternyata harga dirinya yang kini jauh terasa lebih pilu.
Jika bukan denganmu, kepada siapa lagi aku mungkin jatuh cinta?..
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada
hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.
QS. Maryam, 19:33
.
.
.
.
Apa-apa yang baik yang dijalankan manusia pada bulan ini seperti main game saat happy hours. Berlipat-lipat dapat XP alias ganjaran. Perihal pahala atau yang lain mari kita percayakan saja pada Tuhan pemilik semesta.
Termasuk saya yang berniat dan berusaha tetap pada rencana untuk menjadi manusia yang lebih baik, setidaknya untuk diri saya sendiri dulu. Bukan perihal mudah membiasakan lagi bangun untuk sahur setelah sekian lama absen dari puasa sunnah atau bangun malam untuk mensucikan badan dari najis lalu bersujud, bersungkur di hadapan Illahi setelah sekian lama terlena dengan lelahnya kerja lalu lelapnya tidur panjang sampai pagi lagi.
Saya bersyukur, saat ini lingkungan saya masih lingkungan yang sangat kondusif untuk berbuat baik, taat pada aturan agama, dan menjalankan syariat. Tidak ada yang pernah tahu, beberapa waktu mendatang entah di tanah mana saya berpijak, di daerah mana saya tinggal, dan apakah juga waktu masih berpihak?
Rasanya, begitu singkat untuk saya sadar lagi dan memulai rutinitas kebaikan untuk mengikis segala keburukan yang ada di dalam diri. Tapi kembali pada diri kita sendiri bukan? Bukankah Ramadhan sebagai tempat latihan dan kita bisa terus lakukan di waktu seterusnya, lagi, terus, dan kontiniti?
Semoga kita tergolong ke dalam orang-orang yang selalu berbuat kebaikan, menjaga kebaikan, dan berada dalam lingkungan kebaikan.
Anyway, sebagai bentuk kenang-kenangan saya terhadap dua sahabat baru saya di Ramadhan kemarin, saya akan menuliskan tentang mereka di sini. Namanya adalah Nurul dan Anip. Mereka adalah santri perempuan yang akhirnya tidak jadi pulang berlibur karena diminta Abah untuk menemani saya selama mengisi waktu di pondok Al-Islahiyah. Usia mereka di bawah saya, tapi panggilan "Mba" tetap saya tambah di depan namanya.
Selama saya di sana saya banyak berpikir dan merenungkan apa saja yang sudah saya lakukan selama ini dan saya harus apa lagi di waktu selanjutnya. Saya sengaja meninggalkan ponsel di rumah dengan tujuan simpel. Saya tidak ingin diganggu atau terganggu selama ada di sana.
Berhubung saya datang ketika masa pembelajaran di pondok sudah selesai, Abah mempersilakan saya untuk tinggal dan melakukan kegiatan sehari-hari saja. Kata Abah, saya mungkin tidak dapat kesempatan untuk belajar seperti rencana saya awalnya tapi semoga ada nilai-nilai kebaikan yang bisa saya dapat dari tempat itu. Dan ternyata..I got it! Saya jadi teringat pada suatu season training yang pernah saya dapatkan sekitar 2 tahun lalu, saya pernah tulis tentang kelebihan saya yaitu bisa mengambil sisi positif dari kejadian apapun. Apapun. Itulah yang terjadi. Meski tidak sesuai rencana, saya justru bahagia-bahagia saja karena ada hal baru, teman baru, dan pembelajaran baru yang saya dapat.
Kadang begitu dingin, menusuk. Sampai aku butuh selimut ekstra. Atau jaket tebal. Tatapan dan diam yang mencekam.
Terasa membara, kelewat menggebu. Tidak peduli kanan kiri. Kita hanya berjalan dan berlari kemudian dengan cepat. Lalu terjatuh, terjungkal dan berdarah. Pada akhirnya aku terlontar jauh.
Kurasa akhirnya aku tahu.
Kamu.
Seorang tamu yg mengetuk pintu.
Masuk dan tinggal sementara waktu.
Tapi kamu tetaplah seorang tamu.
Kamu bisa pakai semua ruangan di rumahku.
Tamu terhormatku.
Jangan lupa mampir lagi kalau kau butuh aku.
Aku mungkin masih bisa mengulurkan tanganku.
Jangan terlalu lama
Jika terlalu lama,
aku akan terbiasa
kemudian sulit untuk berkata tidak atau bahkan memalingkan muka
Biasa saja
Ada waktunya
Rhiqal, Nafrian, Ezhar |
here we are |
sumber: Foto Kak Rio |
sumber: Foto Kak Rio |
sumber: Foto Kak Rio |
Mang Fatir lagi cerita nih. |
sumber: Foto Kak Rio |
sumber: Foto Kak Rio |
sumber: Foto Kak Rio |
Paint the world with your color and it will be back to you.
sumber: Foto Kak Rio |
Menanam Padi dan Memandikan Kerbau
sumber: Foto Kak Rio |
sumber: Foto Kak Rio |
I thought that you are my destiny.
But, not.
I thought that we could be forever.
But, not.
Destiny is far far away.
Forever is saying goodbye.
Sayangnya, meski bulan tetap di sana..matahari adalah segalanya.
my happiness burst with exceptionally romantic sounds of seaside waves.
a carefree step, clear sunny day and our happy faces
Take a walk and vision a lush, wild spaces full of leaves and ferns.
A beautiful serenade, standing there to bear witness to the sacred vows we had made.
Tentang perasaan yang sudah pergi
Kemudian datang lagi
Kamu, lelaki.
Senja dari sebuah sore berwarna jingga
Tentang perasaan indah antara kita
Kemudian lebur satu-satu semua kata
Kamu, wanita.
Kita sama.
Tapi rasanya kenapa berbeda.
Ingatkah bahwa keberadaanmu di sampingku adalah alasan kita bersama. Maka, ketika kau memutuskan kembali melangkah menjauh dari sekitarku, tak ada lagi alasan untuk kita bersama.
Angin bertiup kencang. Kau goyang. Lepas. Membiarkan diri terbawa. Menikmati sensasi di udara. Kau senang. Tapi apakah itu selamanya? Bukankah angin tak selamanya bertiup dan kau tetap terbang di udara. Tunggulah masa dimana kau akan kembali menjejak tanah. Kemudian terinjak dan hanya bisa bersumpah serapah.
Tapi kupikir lagi, kau kehendaki atau tidak, kau akan tetap pergi dan tidak bisa selamanya tinggal.
Bicara tinggal, taman ini tadinya akan kujadikan taman terbaik. Karena aku bisa bersamamu sejenak.
Apakah aku bisa membuatmu lebih baik?
Dari dorm tempat nginap, Jepang. 2014 |
Ikutan datang ke Shrine. 2014 |
Foto adalah racun pertama buat saya tentang suatu petualangan ke sebuah tempat baru, kemudian cerita di baliknya, atau kejadian yang terjadi selanjutnya di tempat itu. Tempat baru yang memang dengan sengaja saya datangi. Memanfaatkan juga akses yang mudah dalam mendapatkan buku baru atau majalah baru dengan konten travel di tempat kerja. Semakin menambah daftar destinasi yang ingin sekali suatu hari nanti saya datangi.
Secara random, akan selalu ada foto di setiap saya berjalan. Baik berupa foto yang asal ambil sembari lewat di atas kendaraan atau foto yang sengaja diambil dengan persiapan matang seputar sudut pandang dan komposisi. Meski kebanyakan saat ini masih seringkali terinspirasi karena orang lain, tapi jujur saja saya tak pernah bisa dapat foto persis seperti foto milik orang lain. Yang kemudian didapatkan justru gambar lain yang barangkali tak menarik bagi mereka. Tapi itu memori saya bersama sebuah ruang dan waktu.
Pertama kali ikut pendakian. Pertama kali juga bawa kamera besar. 2011 |
Perjalanan pendakian selanjutnya setelah Papandayan. 2012 |
Melihat pesonanya dari jauh. Sore itu terkagum-kagum dari jauh. 2012 |
Ketika masih sering duduk di perpustakaan. Mencari warta. 2012 |
Curug Cilember. 2013 |
Pertama kali ke Moko, Bandung, ketika jalanan masih alami dan berdebu. Entah lupa tahun berapa. |
Tempat melarikan diri. Jauh sampai ke Pantai Pandawa, Bali. 201 |
Oh jadi ini pemandangan matahari terbit di Sikunir. 2016 |
Salah satu savannah di Sumba Barat. 2017 |