Coba, coba katakan kepadaku bahwa kita sedang berjalan
Menuju satu alasan
Janganlah kau katakan bila kita memang tak ada tujuan
Dari apa yang dijalankan
Aku menulis,
karena aku mudah lupa.
Sedikit banyak tentang kejadian lampau berhasil aku ingat karena aku membaca kembali apa yang sudah kutulis. Perihal remeh temeh kelas baru, punya gebetan baru, dimarahi papa, dapat nilai amburadul di sekolah, atau pengakuan dosa karena sudah mencontek. Sumpah. Setelah itu kapok!
Aku menulis,
karena aku suka dan merasa bahagia setelahnya.
Seperti yang sudah-sudah, di kepala banyak hal yang ingin diutarakan. Tapi suara bukan lah sebuah pilihan yang diinginkan. Maka lewat aksara dalam sebuah tulisan. Dan wush! Bahagia.
Aku menulis,
karena aku ingin mengenang.
Wanita berbunga. Merekah dan percaya pada cinta yang bertebangan di udara. Menyelam ke samudera, melihat bagaimana palung di ujung sana. Bertolak ke angkasa, menikmati gemawan putih dan kadang abu.
Hatinya terbagi untuk bumi sekaligus matahari. Tinggal untuk berpijak, tapi ditolak. Mendongak tapi terlalu panas yang bergolak. Lalu dimanakah wanita akan pulang?
----
Januari yang sempurna. Sempurna.
Hatinya terbagi untuk bumi sekaligus matahari. Tinggal untuk berpijak, tapi ditolak. Mendongak tapi terlalu panas yang bergolak. Lalu dimanakah wanita akan pulang?
----
Januari yang sempurna. Sempurna.
Lelaki datang dengan keyakinan di benaknya bahwa ia mampu membuat masa depan bersama terasa lebih indah dan menyenangkan. Melewati masa muda, menyambut hari tua, menjalani dunia, bersiap kekal di akhir masa.
Lelaki datang dengan gejolak di dada. Mengutarakan segala bentuk inginnya. Perihal rasa, perihal masa. Perihal kita berdua. Dengan aroma penuh cinta. Dengan warna yang membuai semesta. Aura. Auranya kala itu penuh dengan rasa percaya.
Lelaki datang. Lalu pergi. Lalu datang lagi. Dan pergi lagi.
Lelaki ini sebetulnya mau apa?
Kurasa, dia tidak betul sadar sedang apa ketika mengetuk jendela dan masuk ke dalam istana. Dia sedang berhadapan dengan siapa. Atau mungkin setelah itu dia lupa. Selamanya.
-
Januari yang sempurna. Sempurna.
Lelaki datang dengan gejolak di dada. Mengutarakan segala bentuk inginnya. Perihal rasa, perihal masa. Perihal kita berdua. Dengan aroma penuh cinta. Dengan warna yang membuai semesta. Aura. Auranya kala itu penuh dengan rasa percaya.
Lelaki datang. Lalu pergi. Lalu datang lagi. Dan pergi lagi.
Lelaki ini sebetulnya mau apa?
Kurasa, dia tidak betul sadar sedang apa ketika mengetuk jendela dan masuk ke dalam istana. Dia sedang berhadapan dengan siapa. Atau mungkin setelah itu dia lupa. Selamanya.
-
Januari yang sempurna. Sempurna.
Seandainya kita bisa berlalu begitu saja tanpa ada yang tahu
Tanpa juga perlu bersembunyi
Membiarkan daun kering terinjak kaki
Atau aroma tubuh menguar di udara
Tapi “andai” hanya milik orang yang tidak mau menerima
Dan aku tahu, kita bukan yang seperti itu
Kita lebih dari itu
..
bip bip bip kursor terus berkedip. Raina selesai berpikir. Menoleh ke jendela, mulai bersandar pada kursi yang ia duduki. Menerawang jauh ke luar kaca. Tidak lagi berpikir, tapi masih bisa merasakan bahwa aroma hujan masuk lewat jendela yang terbuka. Baginya saat itu semesta sedang berhenti bekerja kecuali air yang jatuh dari langit dan suaranya yang memenuhi kepala Raina.
"Na! Lo ngerti kan maksud gue?" kini Rara sudah berada tepat di depan kedua manik mata Raina.
"Ha? Ngerti? Apa?" Raina menatap Rara dengan wajah bingung sempurna.
"Astaga Tuhan! Lo ngelamun ya? Gue dari tadi cerita, ngejelasin panjang kali lebar, satupun gak ada yang Lo simak? Padahal kan gue..." Rara mencecar Raina
"Stop, Ra. Sorry kalau gue tadi gak nyimak. Tapi sumpah, saat ini gue ga butuh cerita dari siapa-siapa. Gue ga butuh dengar apa-apa. Mungkin next time, Ra? Sorry banget." Raina menghentikan Rara dan segera pergi bahkan ketika ia belum menyelesaikan kalimatnya.
"Dih, tu anak stress kali ya. Agak aneh belakangan ini. Ah yaudahlah.."
Rara sahabat Raina. Baginya. Bagi Rara, Raina adalah hujan, selalu mendinginkan apapun. Tepat di saat suasana yang 'panas' di meja rapat atau perihal cowok tampan di ruang sebelah. Karyawan baru pindahan dari kantor cabang yang baru kemarin datang. Di saat semua mata tertuju ingin berkenalan, Raina yang ditanya pertama malah tidak peduli. Hanya tersenyum sekenanya lalu pamit pergi ke kantin Bi Jumi.
Bagi Raina, Rara adalah partikel. Ada, mungkin berarti. Tidak ada, tidak jadi masalah berarti.
"ah, baiklah.. aku nyerah!" kuhempaskan punggung ke sandaran bangku kayu yang sungguh tidak empuk. Lalu mengaduh dan sumpah serapah sendiri.
Lagu merdu dari Om Ebiet tidak membantu sama sekali dalam situasi seperti ini. Padahal biasanya cukup ampuh membunuh semua yang berkenaan dengan pelik dan kusutnya syaraf di otak. Mungkin yang aku butuhkan bukan hanya sekedar kidung-kidung tapi sosok nyata seorang teman sekaligus pelindung. Atau kekasih?
Lupakan saja. Kekasih hanyalah sebuah kata kosong, imajiner, dan tak tersentuh sama sekali bagi penggila macam aku.
"gue cabut, No!" Arian bangkit dari kursinya dan segera pergi dari hadapanku. Sial, dia ternyata sama sekali tidak peduli dan mau tahu aku kenapa.
"oh. Ok, Yan." aku hanya menyahut pelan.
Barang di meja langsung aku rapikan, persis ketika Arian pamit seenak jidatnya meninggalkan aku sendiri di warung ini. Tidak berapa lama setelah aku pamitan dengan Bang To pemilik warung ini, aku pergi keluar warung. Jakarta setiap hari sama saja. Udara yang sama, polusi yang serupa, bising yang tidak berubah, keras di sana sini. Dan aku, bersamanya setiap hari sama dengan perasaan aku tinggal di Jakarta.
-
Lagu merdu dari Om Ebiet tidak membantu sama sekali dalam situasi seperti ini. Padahal biasanya cukup ampuh membunuh semua yang berkenaan dengan pelik dan kusutnya syaraf di otak. Mungkin yang aku butuhkan bukan hanya sekedar kidung-kidung tapi sosok nyata seorang teman sekaligus pelindung. Atau kekasih?
Lupakan saja. Kekasih hanyalah sebuah kata kosong, imajiner, dan tak tersentuh sama sekali bagi penggila macam aku.
"gue cabut, No!" Arian bangkit dari kursinya dan segera pergi dari hadapanku. Sial, dia ternyata sama sekali tidak peduli dan mau tahu aku kenapa.
"oh. Ok, Yan." aku hanya menyahut pelan.
Barang di meja langsung aku rapikan, persis ketika Arian pamit seenak jidatnya meninggalkan aku sendiri di warung ini. Tidak berapa lama setelah aku pamitan dengan Bang To pemilik warung ini, aku pergi keluar warung. Jakarta setiap hari sama saja. Udara yang sama, polusi yang serupa, bising yang tidak berubah, keras di sana sini. Dan aku, bersamanya setiap hari sama dengan perasaan aku tinggal di Jakarta.
-
Aku punya sekotak pensil dengan tiga puluh warna berbeda di dalamnya. Hari ini ketika sedang mengisi waktu dari rutinitas bekerja, aku membuka kotak itu kembali dan menggunakan pensil-pensil di dalamnya. Tiba-tiba terlintas satu hal di kepala,
Kenapa ya warna-warna coklat, hijau, biru lebih cepat pendek. Oh iya ya, aku jarang juga pakai warna terang dalam jumlah banyak di setiap gambar yang ada. Setiap frame pasti dominasi gelap atau warna netral lainnya. Pantas saja cepat pendek.
Sesederhana lintasan pemikiran itu, maka datang pemahaman lain bersamanya. Mungkin, kita sering lupa bahwa apa yang bisa lakukan itu banyak. Tapi kita terlalu nyaman dengan yang sudah biasa kita lakukan. Jadinya ya seperti itu, merasa tidak ada lagi yang bisa dilakukan, lalu cepat bosan, lalu mengandalkan satu hal saja, atau mengutuk diri sendiri tidak bisa apa-apa.
So, sekarangkah waktunya mengangkasa?
Tulisan aku tentangmu, menyajikan banyak pemikiran sendiriku. Tentang bagaimana kita hidup bersama dari waktu ke waktu. Menikmati setiap huru hara di dunia atau rencana untuk hari nanti yang entah kapan tapi pasti tiba. Tulisan aku tentangmu, mengandalkan rasa-rasa yang muncul di permukaan atau akar-akar yang tertanam di bawah tanah. Menggambarkan betapa setiap halnya di antara kita begitu rumit sekaligus sederhana.