Kamu cukup membantuku
untuk setiap urusan ingatan yang seringkali terlupakan. Waktu perjalanan ke
Sumba, kamu seperti membangkitkan kenangan untuk setiap perjalanan. Bahwa aku
bisa menuliskan apa saja tentang daerah yang aku datangi. Padahal kita hanya membahasnya di tempat makan di sela waktu menunggu. Tanggapanmu selalu membuat aku percaya bahwa kamu adalah segalanya. Dan tentang kamu yang
selalu menyelinap. Kenapa.
Ingatan ini.
Aku bisa gila.
Banyak yang tidak aku tahu lagi sejak aku diam lama di tempat ini. Kamu entah di mana, dengan siapa, dan sedang apa. Banyak yang tidak aku tahu lagi sejak aku terbangun pagi kemarin dan kamu tak ada di sisiku. Aku tidak mengingat banyak hal, tapi aku masih mengingat dirimu. Tidak ada yang baru. Mereka hanyalah sekumpulan ingatan yang berantakan. Tapi semuanya ada kamu. Lalu, apa ada lagi ingatan lain yang harus aku segera sadari?
---
Raina masih terbaring di tempat yang sama. Seratus tiga puluh sembilan hari. Tidak ada tanda-tanda perubahan sejak malam kejadian mengerikan itu. Aku berharap dia segera bangun dan kembali padaku. Aku rindu senyumnya.
---
Raina masih terbaring di tempat yang sama. Seratus tiga puluh sembilan hari. Tidak ada tanda-tanda perubahan sejak malam kejadian mengerikan itu. Aku berharap dia segera bangun dan kembali padaku. Aku rindu senyumnya.
Pagi hari saat aku terjaga dari tidur panjang setelah koma, aku mencarimu. Aku tidak berpikir apa-apa, hanya mencarimu saja. Ruangan ini terasa begitu kosong. Meski ada suster yang baru saja masuk dari pintu sana dan terkejut mendapatiku akhirnya aku membuka mata.
Aku berusaha mengeluarkan suara, melafalkan sebuah nama. Raga. Dimana dia? Suster menggeleng. Memintaku untuk tetap tenang dan kembali berbaring. Segera memeriksa nadi di pergelangan tangan. Melihat kabel infus yang masuk. Memeriksa bola mata. Kemudian bertanya padaku beberapa pertanyan singkat. Aku merasa baik-baik saja. Tapi kenapa rasanya aku banyak lupa.
Aku berusaha mengeluarkan suara, melafalkan sebuah nama. Raga. Dimana dia? Suster menggeleng. Memintaku untuk tetap tenang dan kembali berbaring. Segera memeriksa nadi di pergelangan tangan. Melihat kabel infus yang masuk. Memeriksa bola mata. Kemudian bertanya padaku beberapa pertanyan singkat. Aku merasa baik-baik saja. Tapi kenapa rasanya aku banyak lupa.
Dimanakah aku kini? Sedang apakah aku kini?
Aku sedang bertualang. Melintasi rel kereta yang panjang. Jarak 166 km menuju timur dari Jakarta.
Ingin sekali aku bilang. Tentang beberapa siang dan petang. Semuanya. Tapi kamu tidak pernah bertanya.
Jadi, semalam aku hanya sampaikan senyum terbaik yg aku punya sebelum mimpi menjemput. Lalu pagi tadi, sekalimat semangat untukmu menjalani hari.
Belajar dari yang sudah pernah dan seringkali terjadi pada saya sendiri, kali ini saya mau bersiap lebih. Saya bersiap untuk sekali lagi patah hati. Karena dengan bodohnya lagi-lagi saya menggantungkan asa yang terlalu tinggi pada makhluk bernama manusia. Sepertinya saya memang diarahkan untuk tidak lagi mudah percaya pada orang lain dan buaian kosong langit siang.
(Mungkin) akan terasa sakit (sekali) lagi. Tapi saya masih pada keyakinan bahwa setiap sakit ada obatnya. Setidaknya waktu bisa menjadi antidotnya.
Kontradiksi.
Tidak masalah dengan diammu, aku bisa menari di ilalang lavender yang wangi.
Tidak masalah dengan diammu, aku bisa merajut sarang laba-laba di pojok dinding yang tinggi.
Tidak masalah dengan diammu, aku tahu aku bisa berlari tanpa perlu berhenti.
Yang masalah adalah diamku. Aku tidak tahu, apa aku mau menari, merajut, dan berlari. Lagi.
ps:
semoga di lelahmu, selalu terselip ketulusan
semoga di sibukmu, nada kita bukan pengganggu ketenangan
Saya bersiap, sudah di sini..
Mari.