Sudah hari ke-berapa melakukan semua aktivitas dari rumah saja? Kalau saya, sudah genap 60 hari. Sudah 5.184.000 detik. Kalau ditanya bagaimana perasaannya sekarang, sudah sampai batas di mana rasa senang dan biasa saja menjadi saru. Tidak ada yang meletup-letup lagi seperti santan masak di atas kuali. Jika sudah sampai pada momen ini, semua menjadi sebuah kebiasaan baru. Tidak lagi ekstra beradaptasi menghadapi terjalnya jalan berbatu. Biasa saja.
Namun terlepas dari semua penyesuaian dan kebiasaan baru yang sedang terjadi, saya menyadari banyak juga yang lantas berubah untuk sekedar sebuah cara menikmati. Sebuah pagi, bangun dari tidur di rumah sendiri, mandi dengan air yang lebih dingin, sarapan warna-warni di meja makan, panggilan mama yang bisa muncul kapan saja, pohon pisang di kebun tetangga, tanah kosong di depan kamar, bunga anggrek yang mulai merekah, baju-baju kaos masa sekolah, suara berisik tetangga belakang rumah, ulat bulu besar, berjemur di atas bangku biru, serat kayu di pintu, gurat karat di besi jendela, dan pemandangan Gunung Salak dengan latar biru cerah.
Bahkan belakangan, hal yang lebih kecil seperti, suara kipas angin, suara burung yang hinggap di dahan pohon, suara panci ditutup, air menetes di bak kamar mandi, riuh anak main bola di lapangan, deru mesin motor yang sesekali lewat, daun yg bergesek karena angin, sampai derap langkap yang kadang cepat kadang juga terasa begitu lambat, menjadi distraksi paling tepat untuk dinikmati. Atau lupakan sejenak dengan suara, tapi coba lihat saja.
Tetangga jarak tiga rumah baru saja membakar sampai daun kering di kebun singkong miliknya. Asapnya membumbung tinggi, tapi tidak hitam pekat, hanya abu, dan makin tipis ketika angin berhembus. Matahari sedang terik, sinarnya memperjelas semuanya. Setiap bentuk tampak sempurna. Pucuk pohon di ujung sana, terlihat juga bergerak karena angin. Sesekali menutup sudut matahari dari tempat aku mengamati. Dan yang paling dekat di sini, rambut putih dan tumpukan kerut di sana sini, jelas terlihat pada wajah seorang ibu.
Jika rasanya tidak banyak hal baru yang bisa kau lakukan selama pandemi ini, tengoklah atau rasakan sejenak dengan saksama apa yang ada dan dekat di sekitarmu. Hal yang seringkali justru luput dari sekadar rasa ingin tahumu.
-
R.
Kamu menyebutnya "wanita itu", sebagai kata ganti nama yang enggan kau sebut. Tidak apa, aku membawakan diriku dan namaku. Kamu bebas memanggilku kapan saja kamu mau. Berharap kamu tidak pernah bosan dengan namaku.
--
Kapan saja.
--
Tidak pernah bosan.
Hampir saja aku menjadi "wanita itu" dalam sejarah hidupmu. Besok lusa barangkali aku harus membuka banyak arsip di entah berapa laci kalau mau mencari namaku. Jika semua itu benar terjadi-jika aku menjadi wanita itu. Tapi aku di sini. Dengan diri dan namaku. Aku tidak akan pernah jadi wanita itu. Karenanya tidak ada arsip yang mesti kau atau aku cari.
--
Banyak arsip.
--
Mencari di laci.
Wanita itu hanya akan menjadi sebuah titik. Sedang namaku akan terus mengalir menjadi kata, kemudian, kalimat, berubah paragraf, dan bermuara pada kita.
Semuanya bisa kau baca.
--
Hanya mau atau tidak saja.