Sudah sepekan cuti bekerja. Biasanya pagi-pagi sudah standby depan laptop dan ponsel. Siap siaga demi setiap pesan masuk dan permintaan proses selanjutnya. Sudah sepekan cuti, kebiasaan mulai berubah. Tidak grasa-grusu harus buka laptop dan ponsel. Tapi beralih lebih kepada bolak-balik jalan di depan rumah sampai bosan. Hahaha. Kalau dirasa cukup, maka masuk lagi dan menyiapkan sarapan pagi. Itupun kalau di kepala memang sudah ada ide mau masak apa pagi itu.
Lalu kalau tidak? Ya tentu saja beli di luar. Bubur, gorengan, lontong, ketupat sayur, atau apa saja. Semalas-malasnya adalah cemplung-cemplung buah lalu dijadikan smoothies dan langsung sedot. Mantab.
Beda lagi kalau tiba hari Selasa, aku setidaknya harus bersiap at least sarapan pagi. Karena suamiku pergi bekerja. Jadi kupastikan perutnya sebelum berangkat harus sudah diisi dulu di rumah. Kalau beruntung, dia dapat jatah bekal makan siang. Kalau tidak, aku kasih saja dia jatah untuk jajan makan siang di luar. Yang beruntung itu aku, karena dia tidak pernah mempermasalahkan aku mau masak atau tidak. Sama sekali. Permintaan jenis makanan sesuatu memang pernah, tapi itu betul-betul bisa dihitung pakai jari. Sekali-kali saja.
Sudah sepekan cuti bekerja. Masih rajin membuka email setiap hari, membaca mana yg sekiranya harus aku alihkan kalau belum teralihkan ke penggantiku sementara. Atau hanya sekedar memantau ada kabar apa hari ini. Sisanya yang tidak penting langsung dihapus masuk ke kotak sampah. Pun begitu dengan chat di ponsel. Grup yang sekiranya perlu kubaca maka kubuka, yang tidak maka ya sudah. Nanti ada waktunya aku buka. Gapapa ya, kan namanya juga cuti hehehe :p
:)
Karena suamiku adalah dia, maka aku bersyukur akannya. Tadi malam merasa sudah harus sigap mengambil tindakan jika saja ini memang waktunya bayi kecilku keluar. Memutuskan untuk tetap tenang merapikan tas berisi barang persalinan yang tentu saja sebelumnya pun sudah disiapkan olehnya. Berganti baju dan bersiap untuk pelan-pelan membangunkannya. Dia terlelap sempurna, seperti bayi.
Pelan-pelan sekali aku berusaha tidak mengejutkan tapi dia langsung terjaga. Mengerti langsung harus bagaimana bersikap setelah sepenuhnya sadar dari tidurnya ketika melihatku.
Kami menerobos angin dini hari pukul 2 pagi.
Karena suamiku adalah dia, maka aku bersyukur akannya. Setelah didiagnosa aku dan bayiku masih baik-baik saja dan kami diminta pulang kembali, dia tetap tenang dan mengajakku tertawa. Menenangkan sampai akhirnya kami tertidur pulas lagi sampai pagi.
Seharian ini aku hanya merepotkannya. Memintanya memasak dan ini itu. Tadi siang, kulihat dia tertidur sambil duduk di dekat jendela sebelah pintu. Kami sama-sama lelah memang. Wajar sekali dia butuh istirahat di sela-sela waktunya membantuku memenuhi kebutuhan hari ini.
Karena suamiku adalah kamu, terima kasih. Ai lop yu, Mas!
Setelah sekian lama gulai ayam mama selalu terbayang-bayang, akhirnya memberanikan diri mengaduk-aduk bumbu dan racik rasa sedemikiannya sampai dirasa mirip.
Hari ini ditinggal sekejap untuk memenuhi kebutuhan hadir sebagai keluarga dekat, ketika salah satu kerabat suamiku hajatan. Hanya berdua dengan papa di rumah. Pagi-pagi tadi menyiapkan keberangkatannya dan tidak sempat jalan-jalan pagi seperti kemarin. Lepas dia pergi, papa belum datang. Bukannya bergerak aktif memanfaatkan waktu yang masih pagi, aku malah terlena duduk-duduk dan lama kelamaan ketiduran di kamar.
Huft.
Semakin mendekati hari H bukannya aktif bergerak, malah makin malas. Sadarlah wahai manusia! Katanya mau jadi ibu versi terbaik untuk anaknya, kok ini malah bermalas-malasan.
Papa datang, aku masih di kamar.
Pekerjaan rumah belum disentuh, mandipun belum. Sampai akhirnya tengah hari datang. Baru muncul keinginan untuk bergerak. Tentu saja sekalian masak! Meski kutahu suamiku pulang nanti membawa makanan, tapi aku kan harus memasak untuk papaku. Buahahaha. Maka jadilah prok prok prok. Sayuran dan tempe, terong, kentang balado.
Sedikit rapi-rapi ruang tengah dan dapur lalu voila~ lumayan lah jadinya bergerak.
Lalu lelah lagi.
Lalu rebahan lagi.
Lalu baru mandi sore dan kesegaran menghampiri.
Besok-besok lebih gerak lagi ya, Bu.
Hari pertama melepaskan keseharian bekerja. Tetap ada cicilan penyelesaian tugas tertinggal. Tapi seutuhnya sudah bisa lepas tangan. Ternyata bosan di menjelang sore hari. Lihat ponsel bosan, lihat laptop apa lagi. Ditambah buku-buku sudah masuk kardus untuk dipindahtempatkan. Oh, ternyata begini ya. Apa sebaiknya mulai lagi merapikan perintilan persiapan persalinan?
Yuk mari.
Eh tapi sungguh tidak mood.
--"
Perasaan macam apa ini. Padahal kemarin menantikan hari ini. Duh, dasar manusia satu ini. Inginnya mengunyah saja. Tapi tunggu dulu, ingat timbangan tadi pagi rasanya harus mulai menjaga makanan. Haha aku menggendut. Sekali-kalinya dalam sejarah berat badan aku akhirnya mencapai 60Kg lebih! Sebuah prestasi.
Suamiku sedang marathon menonton series Jepang. Aksi games bunuh-bunuhan. Pas aku bilang aku bosan, dia malah balik tanya, "kamu ga punya series korea yg mau ditonton?"
--"
ck. hahaha ya justru... aku teh lagi bosan.
Tapi kalau mau uwel-uwel juga sedang tidak mood. Ah. Kamu lalu maunya apa?
*bertanya kepada diri sendiri
**si adik bayi sedang menendan-nendang. mari kita bercerita saja ya, Nak. Barangkali nanti tulisan ini jadi hiburan kita berdua di kemudian hari hihi
mengingat pencapaian yang sudah-sudah memang terkadang lebih mengasyikkan ya. merasa diri sudah mencapai banyak hal dan melewati segala hal.
Satu tahun bersama. Terselip duka itupun bukan karena kita. Perihal ditinggal mama. Kami saling menguatkan, kali itu pertama kali aku melihat dia menangis tergugu. Sama denganku. Kepala kami mengadu. Berdiam dalam tangis yang pilu. Barangkali jika saat itu kami belum bersama, aku meluapkan segala entah kepada apa dan siapa. Ingatkah aku pada-Nya?
Satu tahun bersama. Agustus 2021. Ternyata minim detail aku bercerita. Tidak seperti biasa di momen sebelumnya. Seperti kami punya hidup lebih layak untuk dicermati dan dinikmati langsung ketimbang menuliskannya dalam diari atau buku cerita. Tidak terhitung sukanya. Puji syukur sekali pada-Nya.
...dan semoga untuk sebuah pengantar yang tidak panjang lebar ini, kami selalu terjaga keutuhan dan kebahagiannya :) meski tidak selamanya di dunia tapi semoga kami juga bersama di masa depan nanti di hadapan-Nya.
Jaraknya antara rumah dan tempat bekerja. Kita hanya manusia yang selalu saja haus akan ilmu dan berusaha lebih baik lagi setiap harinya. Berkali-kali aku katakan, bahwa kita bisa melakukan apa saja yang kita mau. Bebas memilih untuk menjadi apa di masa depan. Hari itu setiap ayat berulang diucap sepanjang perjalanan. Aku mendengarkan dengan saksama, barangkali ada yang harus aku ingatkan.
Sesekali lupa tidak masalah, pengulangan sampai usai. Dirasa cukup. Ayat mengudara dan niat kita untuk terus mengulang adalah yang terbaik pada masanya.
Sejak saat itu aku merasa aku bisa jika terus bersamamu.
Day by day
Week by week
Month by month
are you waiting for her or him?
just relax, I forgive you.
I forgive every single wound, stain, and hurt that you made.
You need my forgiveness.
Mulai saat ini, bukankah sebaiknya tidak hanya tentangmu?
Kamu bersamanya. Dia bersamamu. Kamu dan dia adalah kesatuan. Jadi kenapa tidak untuk bersikap lebih manis?
Sudah berapa kali tahun baru aku lebih memilih untuk diam di rumah atau justru memang ketiduran. Dari sekian acara tahun baru yang pernah aku ikuti, dua di antaranya paling mengena. Satu ketika aku bertugas menjadi relawan kesehatan di boulevard Sukasari. Setenda jaga dengan polisi yang juga bertugas untuk keamanan. Apa yang membuatnya jadi momen tidak terlupakan? Semalaman itu juga aku berjaga dari dag dig dug super keras yang muncul di jantungku karena aku bersama orang yang mati-matian aku coba lupakan eksistensinya di dunia. Rasanya campur aduk. Belum lagi puisi yang harus aku berikan kepada Kak Nan yang masih setengah jadi. Sepertinya kata-kata mandek begitu saja sejak siang sampai malam menjelang. Sebuah puisi tahunan yang tidak pernah absen masa iya harus absen malam itu hanya gara-gara tidak fokus karena hal-hal yang tidak seharusnya.
Bagusnya malam itu semua berjalan sesuai perkiraan, suasanya kondusif, dan tidak ada kendala berarti di jalanan. Memang ramai, tapi semua baik-baik saja. Menjelang tepat tengah malam, rombongan dari berbagai arah sudah di posisi masing-masing. Menempati tempat-tempat pilihan mereka lengkap dengan persiapan petasan besar dan kembang api puluhan pak. Hanya tinggal menunggu menit saja, cahaya-cahaya itu melesat ke langit malam yang cerah. Seketika bintang-bintang yang tadinya terlihat, sempurna kalah telak dari pendaran warna-warni api. Pesta kembang api terdekat yang pernah aku saksikan seumur hidupku. Lupakan puisi yang belum jadi, lupakan juga jantung yang dari tadi sibuk sendiri. Aku terpana melihat aneka bentuk itu di langit. Suara menggelegar hanya seperti desau angin yang berbisik.
Kedua kali adalah waktu dimana aku harus kembali ke ingatan anak kelas 3 SD. Alih-alih menyusul mama yang ada di seberang pulau karena menemui nenek, aku jadi seperti liburan singkat sebelum waktunya. Izin sekolah. Tepat di malam tahun baru aku diajak keluar rumah oleh sepupu rasa bibi. Lengkap bersama suami dan anak laki-lakinya serta tak lupa mengajak seorang lagi sepupu laki-lakiku. Total kami berlima. Naik motor bebek ke lapangan balai kota untuk menyaksikan keramaian dan kembang api besar. Kejadian itu yang membuat acara tahun baru jadi lebih berkesan. Sekali seumur hidup, naik motor bebek berlima. Bah! Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, kok bisa! Mungkin dulu badan kami kecil-kecil. Jadi tidak ada masalah mengangkut 3 orang anak kecil dan 2 manusia dewasa.
Bersisian dengan motor lain yang ternyata tetangga sebelah rumah. Saling sapa di jalanan yang penuh sekali bukan hanya dengan kendaraan tapi juga para pejalan kaki. Terlalu bersemangat, pengalaman pertama keluar rumah malam-malam hanya untuk kembang api. Sampai di balai kota, suasana sudah pengap dan padat sekali. Seingatku, kami akhirnya putar balik dan berdiri agak jauh dari pusat acara karena agar mudah untuk nanti langsung pulang dan tidak terjebak di kerumunan orang-orang. Tapi dari semua itu, tetap saja rasa takjub untuk sebuah pesta kembang api selalu ada di ingatan anak kelas 3 SD itu.
Semakin dewasa, semakin mengerti bahwa betapa mubadzirnya semua hal yang dilakukan untuk sebuah perayaan tahun baru. Bahasa lazimnya adalah "membakar uang". Iya, karena uang dipakai untuk membeli petasan dan kembang api. Kemudian dibakar supaya ada cahaya warna-warni yang kita lihat itu. Seharfiah itu. Ditambah, ternyata semakin dewasa semakin banyak hal yang dilakukan di siang hari menjelang tahun baru. Belum lagi kejar setoran deadline sana sini. Mana sempat memikirkan mau tahun baruan kemana dan ngapain. Lebih pilih bisa tidur dengan nyaman di rumah. Berharap besok yang tanggal merah itu betulan bisa dinikmati dengan bangun siang dengan hati tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan. Intinya libur yang sesungguhnya.
Tapi, kalau dibilang aku jadi benci kembang api ya tentu tidak. Haha. Masih selalu suka dan takjub kalau ada kembang api. Mau yang kecil ditangan sambil dipegang atau yang besar bisa aneka warna di langit itu. Masih sama girangnya. Catatannya adalah aku sebagai penikmat saja. Tidak sebagai subjek yang melakukan pembelian petasan, bukan juga sebagai yang bakar-bakarnya. Murni sebagai penonton.
Dan malam ini, di pergantian tahun ke 2021 aku bersama orang yang tidak sama sekali diduga datangnya. Seseorang yang hadir sebagai pengisi 2020 dengan keriaan dan harapan. Mewujudkan doa-doa yang mengudara, dan sebagai jawaban dari-Nya atas sebuah tanda tanya.
Dia, suamiku.