Sudah berapa kali tahun baru aku lebih memilih untuk diam di rumah atau justru memang ketiduran. Dari sekian acara tahun baru yang pernah aku ikuti, dua di antaranya paling mengena. Satu ketika aku bertugas menjadi relawan kesehatan di boulevard Sukasari. Setenda jaga dengan polisi yang juga bertugas untuk keamanan. Apa yang membuatnya jadi momen tidak terlupakan? Semalaman itu juga aku berjaga dari dag dig dug super keras yang muncul di jantungku karena aku bersama orang yang mati-matian aku coba lupakan eksistensinya di dunia. Rasanya campur aduk. Belum lagi puisi yang harus aku berikan kepada Kak Nan yang masih setengah jadi. Sepertinya kata-kata mandek begitu saja sejak siang sampai malam menjelang. Sebuah puisi tahunan yang tidak pernah absen masa iya harus absen malam itu hanya gara-gara tidak fokus karena hal-hal yang tidak seharusnya.
Bagusnya malam itu semua berjalan sesuai perkiraan, suasanya kondusif, dan tidak ada kendala berarti di jalanan. Memang ramai, tapi semua baik-baik saja. Menjelang tepat tengah malam, rombongan dari berbagai arah sudah di posisi masing-masing. Menempati tempat-tempat pilihan mereka lengkap dengan persiapan petasan besar dan kembang api puluhan pak. Hanya tinggal menunggu menit saja, cahaya-cahaya itu melesat ke langit malam yang cerah. Seketika bintang-bintang yang tadinya terlihat, sempurna kalah telak dari pendaran warna-warni api. Pesta kembang api terdekat yang pernah aku saksikan seumur hidupku. Lupakan puisi yang belum jadi, lupakan juga jantung yang dari tadi sibuk sendiri. Aku terpana melihat aneka bentuk itu di langit. Suara menggelegar hanya seperti desau angin yang berbisik.
Kedua kali adalah waktu dimana aku harus kembali ke ingatan anak kelas 3 SD. Alih-alih menyusul mama yang ada di seberang pulau karena menemui nenek, aku jadi seperti liburan singkat sebelum waktunya. Izin sekolah. Tepat di malam tahun baru aku diajak keluar rumah oleh sepupu rasa bibi. Lengkap bersama suami dan anak laki-lakinya serta tak lupa mengajak seorang lagi sepupu laki-lakiku. Total kami berlima. Naik motor bebek ke lapangan balai kota untuk menyaksikan keramaian dan kembang api besar. Kejadian itu yang membuat acara tahun baru jadi lebih berkesan. Sekali seumur hidup, naik motor bebek berlima. Bah! Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, kok bisa! Mungkin dulu badan kami kecil-kecil. Jadi tidak ada masalah mengangkut 3 orang anak kecil dan 2 manusia dewasa.
Bersisian dengan motor lain yang ternyata tetangga sebelah rumah. Saling sapa di jalanan yang penuh sekali bukan hanya dengan kendaraan tapi juga para pejalan kaki. Terlalu bersemangat, pengalaman pertama keluar rumah malam-malam hanya untuk kembang api. Sampai di balai kota, suasana sudah pengap dan padat sekali. Seingatku, kami akhirnya putar balik dan berdiri agak jauh dari pusat acara karena agar mudah untuk nanti langsung pulang dan tidak terjebak di kerumunan orang-orang. Tapi dari semua itu, tetap saja rasa takjub untuk sebuah pesta kembang api selalu ada di ingatan anak kelas 3 SD itu.
Semakin dewasa, semakin mengerti bahwa betapa mubadzirnya semua hal yang dilakukan untuk sebuah perayaan tahun baru. Bahasa lazimnya adalah "membakar uang". Iya, karena uang dipakai untuk membeli petasan dan kembang api. Kemudian dibakar supaya ada cahaya warna-warni yang kita lihat itu. Seharfiah itu. Ditambah, ternyata semakin dewasa semakin banyak hal yang dilakukan di siang hari menjelang tahun baru. Belum lagi kejar setoran deadline sana sini. Mana sempat memikirkan mau tahun baruan kemana dan ngapain. Lebih pilih bisa tidur dengan nyaman di rumah. Berharap besok yang tanggal merah itu betulan bisa dinikmati dengan bangun siang dengan hati tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan. Intinya libur yang sesungguhnya.
Tapi, kalau dibilang aku jadi benci kembang api ya tentu tidak. Haha. Masih selalu suka dan takjub kalau ada kembang api. Mau yang kecil ditangan sambil dipegang atau yang besar bisa aneka warna di langit itu. Masih sama girangnya. Catatannya adalah aku sebagai penikmat saja. Tidak sebagai subjek yang melakukan pembelian petasan, bukan juga sebagai yang bakar-bakarnya. Murni sebagai penonton.
Dan malam ini, di pergantian tahun ke 2021 aku bersama orang yang tidak sama sekali diduga datangnya. Seseorang yang hadir sebagai pengisi 2020 dengan keriaan dan harapan. Mewujudkan doa-doa yang mengudara, dan sebagai jawaban dari-Nya atas sebuah tanda tanya.
Dia, suamiku.
0 komentar